Beranda | Artikel
Fikih Akad Musaqah: Definisi, Hukum, dan Hikmahnya
1 hari lalu

Musaqah mungkin terdengar sedikit asing tentang namanya. Hampir jarang sekali terdengar tentang musaqah ini. Namun, musaqah mendapatkan perhatian dari para ulama sehingga mereka memasukkannya pada pembahasan masalah muamalah. Hampir di seluruh kitab-kitab fikih ditemukan pembahasan tentang musaqah ini. Di antaranya: kitab Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Mughni karya Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, dan kitab-kitab yang lainnya.

Definisi musaqah

Secara bahasa, musaqah diambil dari kata السَقْيُ yang berarti “mengairi”. Dinamakan demikian, karena dahulu pohon-pohon penduduk Hijaz sangat butuh air karena negeri Hijaz adalah negeri yang tandus. Sehingga pohon-pohon yang ada butuh untuk diberi air dari sumur-sumur yang ada.

Secara istilah, musaqah adalah memberikan kebun atau pohon kepada pengelola untuk disirami dan dirawat. Setelah matang buahnya, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemilik kebun dan pengelola. [1]

Singkatnya, bisa diartikan musaqah adalah kerjasama dalam penanaman dan mengelola pohon (kebun) antara pemilik pohon dengan pengelolanya. Ketika berbuah, maka hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Apakah dibagi dua, sepertiga atau yang lainnya.

Pohon yang dimaksud di sini, bisa pohon yang berbuah atau yang tidak berbuah. [2] Karena terkadang ada pohon yang hanya dimanfaatkan batangnya saja, akarnya saja, getahnya saja, dan lain sebagainya. Sehingga, bisa disepakati antara kedua belah pihak jumlah yang dibagikan dari hasil pohon tersebut.

Hukum musaqah

Hukum musaqah adalah jaizah atau mubah. Yakni, diperbolehkan dalam Islam, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Berbeda halnya dengan pendapat Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah yang lebih condong tidak memperbolehkannya. Pendapat beliau ini, diselisihi oleh kedua murid beliau, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani rahimahumallah.

Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang membolehkan akad musaqah ini sebagaimana pendapat jumhur dan qiyas terhadap mudharabah. Sebagaimana mudharabah diperbolehkan, maka musaqah pun juga diperbolehkan. Terkait dengan perbedaannya, InsyaAllah akan datang di tulisan selanjutnya. Musaqah diperbolehkan juga karena ada dalil kuat yang membolehkannya. [3]

Dalil musaqah

Di antara dalilnya adalah yang datang dari hadis Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,

عَامَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempekerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.” (HR. Bukhari)

Dalam konteks yang lain, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَى خَيْبَرَ الْيَهُودَ عَلَى أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا خَرَجَ مِنْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tanah Khaibar kepada orang Yahudi untuk dimanfaatkan dan ditanami tumbuhan dan mereka mendapat separuh dari hasilnya.” (HR. Bukhari)

Hikmah pensyariatan musaqah

Kemaslahatan dalam pengelolaan sumber daya

Disyariatkannya musaqah untuk merealisasikan kemaslahatan bersama. Karena ada di antara kalangan manusia memiliki lahan, kebun dan pohon, namun ia tidak mampu untuk mengelolanya. Adapula di antara kalangan manusia yang memiliki kemampuan untuk menyirami, menyuburkan, dan merawat pohon-pohon hingga berbuah, namun ia tidak memiliki sedikit pun dari lahan, kebun, dan pohon.

Meningkatkan kerja sama dan saling membantu

Dengan diperbolehkannya musaqah, maka kaum muslimin bisa saling membantu dengan muslim yang lainnya. Dan membuat hubungan sosial dan muamalah antara kaum muslimin semakin menguat, terkhusus antara pemilik tanah dan pengelolanya. Sehingga, pemilik kebun dapat diringankan bebannya dan pengelola mendapatkan pekerjaan dan keuntungan dari pengelolaannya terhadap kebun atau pohon tersebut.

Memberikan lapangan pekerjaan untuk kaum muslimin

Pada akad musaqah ini, mempermudah kaum muslimin untuk mendapatkan pekerjaan yang halal. Tentunya, hal ini jika diniatkan oleh pemilik lahan untuk membantu kaum muslimin karena Allah, maka pemilik lahan akan mendapatkan pahala tentunya. Bahkan, Allah akan senantiasa menolongnya selama ia menolong hamba-hamba Allah yang lain. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)

Meningkatkan produktivitas dan ekonomi

Dengan adanya akad musaqah ini, dapat mengoptimalkan hasil dari lahan atau kebun yang tidak terawat, sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi bagi semua pihak. Istilahnya, “Daripada tidak terawat, lebih baik dikelola oleh orang yang mampu untuk mengelolanya.”

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya mengatakan, “Musaqah bertujuan untuk menjaga manfaat kebun dan pohon yang berpotensi terbengkalai, sekaligus memberikan hak yang adil bagi kedua belah pihak.”

Sehingga, dari sinilah ekonomi pun akan tumbuh di antara kaum muslimin dan ketersediaan pangan pun akan terus ada di antara masyarakat.

Pada musaqah, terdapat prinsip keadilan Islam

Pada akad ini, secara tidak langsung, syariat Islam mengajarkan tentang praktik keadilan. Dengan adanya pembagian antara kedua belah pihak. Tidak serta merta keuntungan dinikmati oleh pemilik lahan, atau tidak juga oleh pengelola lahan tersebut.

Namun, Islam mengajarkan agar keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan keadilan bersama. Tentunya, kerja sama seperti ini mengikis tindak kezaliman antara kedua belah pihak. Seperti memanfaatkan tenaga tanpa bayaran yang seharusnya, atau keuntungan besar yang hanya diperoleh sepihak.

Demikianlah, di antara hikmah-hikmah yang didapatkan pada akad musaqah ini. Islam sangat indah menerapkan ajaran-ajarannya. Hal ini tentunya selain menjadi ilmu dan pembelajaran, juga menjadi penambah keimanan dan keyakinan, bahwasanya Islam bukanlah datang dari manusia ataupun makhluk. Namun, datang dari Rabb Yang Maha Esa, yaitu Allah ‘Azza Wajalla.

Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Depok, 20 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024 M

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/102110-fikih-akad-musaqah-definisi-hukum-dan-hikmahnya.html